Agen Slot Terbaik - Cerita Pembantu Cantik yang Terperdaya Karena Mencintai Anak Majikannya - Cerita mesum pembantu cantik mencintai anak majikan-nya yang genit dengan judul ” Pembantu Cantik yang Terperdaya Karena Mencintai Anak Majikannya ” yang tidak kalah serunya dan dijamin dapat meningkatkan libido seks, selamat menikmati.
Agen Slot Terbaik - Lima bulan sudah aku bekerja sebagai seorang pembantu rumahtangga di
keluarga Pak Rahadi. Aku memang bukan seorang yang makan ilmu bertumpuk,
hanya lulusan SD. Tetapi karena niatku untuk bekerja memang sudah tidak
bisa ditahan lagi, akhirnya aku pergi ke kota Surabaya, dan beruntung
bisa memperoleh majikan yang baik dan bisa memperhatikan
kesejahteraanku.
Sering terkadang aku mendengar kisah tentang nasib beberapa orang
pembantu rumah tangga di kompleks perumahan. Ada yang pernah ditampar
majikannya, atau malah bekerja seperti seekor sapi perahan saja. Ibu
Rahadi pernah bilang bahwa beliau menerimaku menjadi pembantu rumah
tangganya lantaran usiaku yang relatif masih muda.
Beliau tak tega melihatku luntang-lantung di kota metropolis ini.
“Jangan-jangan kamu nanti malah dijadikan wanita panggilan oleh para
calo WTS yang tak bertanggungjawab.” Itulah yang diucapkan beliau
kepadaku. Namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganggu pikiranku,
yakni tentang perlakuan Mas Rizal terhadapku. Mas Rizal adalah anak
bungsu keluarga Bapak Rahadi. Dia masih kuliah di semester 6, sedangkan
kedua kakaknya telah berkeluarga.
Mas Rizal baik dan sopan terhadapku, hingga aku jadi rikuh bila
berada di dekatnya. Sepertinya ada sesuatu yang bergetar di tubuhku.
Jika aku ke pasar, Mas Rizal tak segan untuk mengantarkanku. Bahkan
ketika naik mobil aku tidak diperbolehkan duduk di jok belakang, harus
di sampingnya.
Ahh… Aku selalu jadi merasa tak nikmat. Pernah suatu malam sekitar
pukul 20.00, Mas Rizal hendak membikin mie instan di dapur, aku bergegas
mengambil alih dengan alasan bahwa yang dilakukannya pada dasarnya
adalah tugas dan kewajibanku untuk bisa melayani majikanku. Tetapi yang
terjadi Mas Rizal justru berkata kepadaku, “Nggak usah, Santi. Biar aku
saja, anggak apa-apa kok…”
“Nggak… nggak apa-apa kok, Mas”, jawabku tersipu sembari menyalakan kompor gas.
Tiba-tiba Mas Rizal menyentuh pundakku. Dengan lirih dia berucap,
“Kamu sudah capek seharian bekerja, Santi. Tidurlah, besok kamu harus
bangun khan..” Aku hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa. Mas Rizal
kemudian melanjutkan memasak. Namun aku tetap termangu di sudut dapur.
Hingga kembali Mas Rizal menegurku.
“Santi, kenapa belum masuk ke kamarmu. Nanti kalau kamu kecapekan dan
terus sakit, yang repot kan kita juga. Sudahlah, aku bisa masak sendiri
kalau hanya sekedar bikin mie seperti ini.”
Belum juga habis ingatanku saat kami berdua sedang nonton televisi di
ruang tengah, sedangkan Bapak dan Ibu Rahadi sedang tidak berada di
rumah. Entah kenapa tiba-tiba Mas Rizal memandangiku dengan lembut.
Pandangannya membuatku jadi salah tingkah.
“Kamu cantik, Santi.”
Aku cuma tersipu dan berucap,
“Teman-teman Mas Rizal di kampus kan lebih cantik-cantik, apalagi mereka kan orang-orang kaya dan pandai.”
“Tapi kamu lain, Santi. Pernah tidak kamu membayangkan jika suatu saat
ada anak majikan mencintai pembantu rumah tangganya sendiri?”
“Ah… Mas Rizal ini ada-ada saja. Mana ada cerita seperti itu”, jawabku.
“Kalau kenyataannya ada, bagaimana?”
“Iya… nggak tahu deh, Mas.”
Kata-katanya itu yang hingga saat ini membuatku selalu gelisah. Apa
benar yang dikatakan oleh Mas Rizal bahwa ia mencintai ku? Bukankah dia
anak majikanku yang tentunya orang kaya dan terhormat, sedangkan aku
cuma seorang pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu selalu terngiang
di benakku.
Tibalah aku memasuki bulan ke tujuh masa kerjaku. Sore ini cuaca
memang sedang hujan meski tak seberapa lebat. Mobil Mas Rizal memasuki
garasi. Kulihat pemuda ini berlari menuju teras rumah. Aku bergegas
menghampirinya dengan membawa handuk untuk menyeka tubuhnya.
“Bapak belum pulang?” tanyanya padaku.
“Belum, Mas.”
“Ibu… pergi..?”
“Ke rumah Bude Mami, begitu ibu bilang.”
Mas Rizal yang sedang duduk di sofa ruang tengah kulihat masih tak
berhenti menyeka kepalanya sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku
yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas menghampirinya. Saat aku
hampir meninggalkan ruang tengah, kudengar Mas Rizal memanggilku.
Kembali aku menghampirinya.
“Kamu tiba-tiba membikinkan aku minuman hangat, padahal aku tidak
menyuruhmu kan”, ucap Mas Rizal sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Santi, aku mau bilang bahwa aku menyukaimu.”
“Maksud Mas Rizal bagaimana?”
“Apa aku perlu jelaskan?” sahut Mas rizal padaku.
Tanpa sadar aku kini berhadap-hadapan dengan Mas Rizal dengan jarak
yang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan terlampau dekat. Mas Rizal
meraih kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan sedikit tarikan yang
dilakukannya maka tubuhku telah dalam posisi sedikit terangkat merapat
di tubuhnya.
Sudah pasti dan otomatis pula aku semakin dapat menikmati wajah
ganteng yang rada basah akibat guyuran hujan tadi. Demikian pula Mas
Rizal yang semakin dapat pula menikmati wajah bulatku yang dihiasi
bundarnya bola mataku dan mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata lagi, hanya saling melempar pandang
dengan dalam tanpa tahu rasa masing-masing dalam hati. Tiba-tiba entah
karena dorongan rasa yang seperti apa dan bagaimana bibir Mas Rizal
menciumi setiap lekuk mukaku yang segera setelah sampai pada bagian
bibirku, aku membalas pagutan ciumannya.
Kurasakan tangan Mas Rizal merambah naik ke arah dadaku, pada bagian
gumpalan dadaku tangannya meremas lembut yang membuatku tanpa sadar
mendesah dan bahkan menjerit lembut. Sampai disini begitu campur aduk
perasaanku, aku merasakan nikmat yang berlebih tapi pada bagian lain aku
merasakan nikmat yang berlebih tapi pada bagian lain aku merasakan
takut yang entah bagaimana aku harus melawannya.
Namun campuran rasa yang demikian ini segera terhapus oleh rasa
nikmat yang mulai bisa menikmatinya, aku terus melayani dan membalas
setiap ciuman bibirnya yang di arahkan pada bibirku berikut setiap lekuk
yang ada di dadaku dijilatinya. Aku semakin tak kuat menahan rasa, aku
menggelinjang kecil menahan desakan dan gelora yang semakin memanas.
Ia mulai melepas satu demi satu kancing baju yang kukenakan,
sampailah aku telanjang dada hingga buah dada yang begitu ranum menonjol
dan memperlihatkan diri pada Mas Rizal. Semakin saja Mas Rizal
memainkan bibirnya pada ujung buah dadaku, dikulumnya, diciuminya,
bahkan ia menggigitnya. Golak dan getaran yang tak pernah kurasa
sebelumnya, aku kini melayang, terbang, aku ingin menikmati langkah
berikutnya, aku merasakan sebuah kenikmatan tanpa batas untuk saat ini.
Aku telah mencoba untuk memerangi gejolak yang meletup bak gunung
yang akan memuntahkan isi kawahnya. Namun suara hujan yang kian
menderas, serta situasi rumah yang hanya tinggal kami berdua, serta
bisik goda yang aku tak tahu darimana datangnya, kesemua itu membuat
kami berdua semakin larut dalam permainan cinta ini. Pagutan dan rabaan
Mas Rizal ke seluruh tubuhku, membuatku pasrah dalam rintihan kenikmatan
yang kurasakan.
Tangan Mas Rizal mulai mereteli pakaian yang dikenakan, ia telanjang
bulat kini. Aku tak tahan lagi, segera ia menarik dengan keras celana
dalam yang kukenakan. Tangannya terus saja menggerayangi sekujur
tubuhku. Kemudian pada saat tertentu tangannya membimbing tanganku untuk
menuju tempat yang diharapkan, dibagian bawah tubuhnya. Mas Rizal
terdengar merintih.
Buah dadaku yang mungil dan padat tak pernah lepas dari remasan
tangan Mas Rizal. Sementara tubuhku yang telah telentang di bawah tubuh
Mas Rizal menggeliat-liat seperti cacing kepanasan. Hingga lenguhan di
antara kami mulai terdengar sebagai tanda permainan ini telah usai.
Keringat ada di sana-sini sementara pakaian kami terlihat berserakan
dimana-mana. Ruang tengah ini menjadi begitu berantakan terlebih sofa
tempat kami bermain cinta denga penuh gejolak.
Ketika senja mulai datang, usailah pertempuran nafsuku dengan nafsu
Mas Rizal. Kami duduk di sofa, tempat kami tadi melakukan sebuah
permainan cinta, dengan rasa sesal yang masing-masing berkecamuk dalam
hati. “Aku tidak akan mempermainkan kamu, Santi. Aku lakukan ini karena
aku mencintai kamu. Aku sungguh-sungguh, Santi. Kamu mau mencintai ku
kan..?” Aku terdiam tak mampu menjawab sepatah katapun.
Mas Rizal menyeka butiran air bening di sudut mataku, lalu mencium
pipiku. Seolah dia menyatakan bahwa hasrat hatinya padaku adalah
kejujuran cintanya, dan akan mampu membuatku yakin akan ketulusannya.
Meski aku tetap bertanya dalam sesalku, “Mungkinkah Mas Rizal akan
sanggup menikahiku yang hanya seorang pembantu rumahtangga?”
Sekitar pukul 19.30 malam, barulah rumah ini tak berbeda dengan
waktu-waktu kemarin. Bapak dan Ibu Rahadi seperti biasanya tengah
menikmati tayangan acara televisi, dan Mas Rizal mendekam di kamarnya.
Yah, seolah tak ada peristiwa apa-apa yang pernah terjadi di ruang
tengah itu.
Sejak permainan cinta yang penuh nafsu itu kulakukan dengan Mas
Rizal, waktu yang berjalanpun tak terasa telah memaksa kami untuk terus
bisa mengulangi lagi nikmat dan indahnya permainan cinta tersebut. Dan
yang pasti aku menjadi seorang yang harus bisa menuruti kemauan nafsu
yang ada dalam diri.
Tak peduli lagi siang atau malam, di sofa ataupun di dapur, asalkan
keadaan rumah lagi sepi, kami selalu tenggelam hanyut dalam permainan
cinta denga gejolak nafsu birahi. Selalu saja setiap kali aku
membayangkan sebuah gaya dalam permainan cinta, tiba-tiba nafsuku
bergejolak ingin segera saja rasanya melakukan gaya yang sedang melintas
dalam benakku tersebut.
Kadang aku pun melakukannya sendiri di kamar dengan membayangkan
wajah Mas Rizal. Bahkan ketika di rumah sedang ada Ibu Rahadi namun
tiba-tiba nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan memberi isyarat
pada Mas Rizal untuk menyusulnya.
Untung kamar mandi bagi pembantu di keluarga ini letaknya ada di
belakang jauh dari jangkauan tuan rumah. Aku melakukannya di sana dengan
penuh gejolak di bawah guyuran air mandi, dengan lumuran busa sabun di
sana-sini yang rasanya membuatku semakin saja menikmati sebuah rasa
tanpa batas tentang kenikmatan.
Walau setiap kali usai melakukan hal itu dengan Mas Rizal, aku selalu
dihantui oleh sebuah pertanyaan yang itu-itu lagi dan dengan mudah
mengusik benakku: “Bagaimana jika aku hamil nanti? Bagaimana jika Mas
Rizal malu mengakuinya, apakah keluarga Bapak Rahadi mau merestui kami
berdua untuk menikah sekaligus sudi menerimaku sebagai menantu? Ataukah
aku bakal di usir dari rumah ini? Atau juga pasti aku disuruh untuk
menggugurkan kandungan ini?” Ah.. pertanyaan ini benar-benar membuatku
seolah gila dan ingin menjerit sekeras mungkin.
Apalagi Mas Rizal selama ini hanya berucap: “Aku mencintai mu,
Santi.” Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari mulut Mas Rizal,
tidak akan berarti apa-apa jika Mas Rizal tetap diam tak berterus terang
dengan keluarganya atas apa yang telah terjadi dengan kami berdua.
Akhirnya terjadilah apa yang selama ini kutakutkan, bahwa aku mulai
sering mual dan muntah, yah.. aku hamil! Mas Rizal mulai gugup dan panik
atas kejadian ini.
“Kenapa kamu bisa hamil sih?” Aku hanya diam tak menjawab.
“Bukankah aku sudah memberimu pil supaya kamu nggak hamil. Kalau begini kita yang repot juga…”
“Kenapa mesti repot Mas? Bukankah Mas Rizal sudah berjanji akan menikahi Santi?”
“Iya.. iya.. tapi tidak secepat ini Santi. Aku masih mencintai mu,
dan aku pasti akan menikahimu, dan aku pasti akan menikahimu. Tetapi
bukan sekarang. Aku butuh waktu yang tepat untuk bicara dengan Bapak dan
Ibu bahwa aku mencintai mu…”
Yah… setiap kali aku mengeluh soal perutku yang kian bertambah
usianya dari hari ke hari dan berganti dengan minggu, Mas Rizal selalu
kebingungan sendiri dan tak pernah mendapatkan jalan keluar. Aku jadi
semakin terpojok oleh kondisi dalam rahim yang tentunya kian membesar.
Genap pada usia tiga bulan kehamilanku, keteguhkan hatiku untuk
melangkahkan kaki pergi dari rumah keluarga Bapak Rahadi. Kutinggalkan
semua kenangan duka maupun suka yang selama ini kuperoleh di rumah ini.
Aku tidak akan menyalahkan Mas Rizal. Ini semua salahku yang tak mampu
menjaga kekuatan dinding imanku.
Subuh pagi ini aku meninggalkan rumah ini tanpa pamit, setelah
kusiapkan sarapan dan sepucuk surat di meja makan yang isinya bahwa aku
pergi karena merasa bersalah terhadap keluarga Bapak Rahadi. Hampir
setahun setelah kepergianku dari keluarga Bapak Rahadi, Aku kini telah
menikmati kehidupanku sendiri yang tak selayaknya aku jalani, namun aku
bahagia.
Hingga pada suatu pagi aku membaca surat pembaca di tabloid terkenal.
Surat itu isinya bahwa seorang pemuda Rizal mencari dan mengharapkan
isterinya yang bernama Santi untuk segera pulang. Pemuda itu tampak
sekali berharap bisa bertemu lagi dengan si calon isterinya karena dia
begitu mencintai nya.
Aku tahu dan mengerti benar siapa calon isterinya. Namun aku sudah
tidak ingin lagi dan pula aku tidak pantas untuk berada di rumah itu
lagi, rumah tempat tinggal pemuda bernama Rizal itu. Aku sudah tenggelam
dalam kubangan ini. Andai saja Mas Rizal suka pergi ke lokalisasi,
tentu dia tidak perlu harus menulis surat pembaca itu.
Mas Rizal pasti akan menemukan calon istrinya yang sangat
dicintainya. Agar Mas Rizal pun mengerti bahwa hingga kini aku masih
merindukan kehangatan cintanya. Cinta yang pertama dan terakhir bagiku
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Di Bawah ini :
No comments:
Post a Comment