Bandar Sabung Ayam - Cerita Goyangan Mertua Yang Begitu Ganas Dan Binal - Berita tentang rencana acara peringatan tiga tahun meninggalnya
almarhum ayah mertuaku yang disampaikan Rosyid saudara istriku dari
kampung, tidak terlalu mengejutkan. Karena aku dan istriku Marni telah
memperhitungkan sebelumnya hingga sudah menyiapkan anggaran untuk
keperluan kegiatan itu guna membantu ibu mertuaku. Namun yang membuatku
terkejut, sebelum pulang Rosyid menyeretku dan berbisik memberitahu
bahwa di kampung belakangan santer beredar isu bahwa ibu mertuaku ada
main dengan Barnas, tukang ojek warga setempat.
Bandar Sabung Ayam - “Saya kira Barnas hanya mengincar duitnya Bude Amah (nama ibu
mertuaku Salamah). Bude kan sudah tua, masa sih Kang Barnas mau kalau
nggak ngincar uangnya,” kata Rosyid, saat aku mengantar dia keluar rumah
dan tidak ada Marni di dekat kami. Menurut Rosyid, ia menyampaikan itu
agar aku jangan kaget jika mendengarnya. Juga diharapkan dapat
mengingatkan ibu mertuaku.
Karena menurut Rosyid, warga kampung sudah geregetan dan berniat
menggerebeknya kalau sampai ketahuan. “Terima kasih informasinya Sid.
Saya akan mencoba mengingatkan ibu kalau ada saat yang tepat. Saya nanti
pulang sendiri ke kampung karena kehamilan Marni sudah hampir memasuki
bulan ke sembilan,” ujarku sebelum Rosyid pergi dengan sepeda motornya.
Kabar perselingkuhan ibu mertuaku dengan tukang ojek itulah yang
membuatku banyak termenung dalam bus yang membawaku dari Jakarta menuju
ke desa di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Seperti halnya Rosyid, aku
juga tidak habis pikir kenapa ibu mertuaku sampai terlibat selingkuh
dengan Barnas. Sebagai bekas istri Sekdes dan tergolong orang berada di
kampungnya, ibu mertuaku termasuk pandai merawat diri di samping
tergolong lumayan cantik.
Maka meskipun usianya telah 52 tahun, masih nampak sisa-sisa
kecantikannya. Wanita berkulit bersih itu juga bisa dibilang masih
menyimpan pesona untuk membangkitkan hasrat lelaki. Jadi tidak benar
anggapan Rosyid bahwa ibu mertuaku tidak menarik lagi bagi laki-laki.
Bagian pantat dan busungan buah dadanya memang masih menantang.
Aku tahu itu karena ibu mertuaku sering hanya mengenakan kutang dan
menutup tubuhnya dengan balutan kain panjang saat di dalam rumah. Bagian
dari tubuh ibu mertuaku yang sudah kurang menarik hanya pada bagian
perutnya. Seperti kebanyakan wanita seusia dia, perutnya sudah tidak
rata. Juga lipatan yang sudah mulai muncul di bagian leher dan kelopak
matanya. Namun untuk bagian tubuh yang lainnya, sungguh masih mampu
membuat jakunku turun naik. Kakinya yang panjang, betisnya masih
membentuk bulir padi dengan paha yang mulus dan membulat kekar. Dadanya
juga sangat montok. Entah kalau soal masih kenyal dan tidaknya.
Aku sendiri suka ngiler karena tetek istriku tak sebesar punya ibunya
itu di samping kulit istriku tak secerah kulit ibunya. Pernah ketika
ibu berkunjung dan menginap beberapa lama di rumahku, aku nyaris gelap
mata. Saat itu Marni istriku baru melahirkan anak pertamanya. Ibu
sengaja datang dan tinggal cukup lama untuk menggantikan peran Marni
mengurus dapur. Saat tinggal di rumahku, kebiasaan ibu mertuaku di desa
yang hanya mengenakan kutang dan membalut tubuh bagian bawah dengan kain
panjang saat di rumah, tetap dilakukannya.
Alasannya, Jakarta sangat panas hingga ia merasa lebih nyaman
berbusana ala Tarzan seperti itu. Sebenarnya tidak ada masalah, karena
ibu mertuaku hanya berpakaian seperti itu saat ada di dalam rumah. Namun
khusus bagiku saat itu jadi terasa menyiksa. Betapa tidak, sementara
harus berpuasa syahwat karena istri yang tidak bisa melayani selama 40
hari setelah melahirkan sementara setiap saat aku seolah disodori
pemandangan menggiurkan penampilan ibu mertuaku.
Apalgi ibu mertuaku tanpa merasa risi sering berpakaian setengah
telanjang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang masih merangsang di
hadapanku. Bahkan kutang yang dipakainya kerap tampak kekecilan hingga
susunya yang besar tidak bisa muat sepenuhnya terbungkus kutang yang
dipakainya. Aku jadi tersiksa, terpanggang oleh nafsu yang tak
tersalurkan. Aku bahkan pernah gelap mata dan nyaris nekad. Malam itu,
saat hendak buang air kecil ke kamar mandi, aku sempat berpapasan dengan
ibu mertuaku yang juga baru dari kamar mandi.
Namun yang membuat mataku melotot, ia keluar dari kamar mandi nyaris
bugil. Hanya mengenakan BH, sementara kain panjang yang biasa dipakainya
belum dilitkan di tubuhnya. Mungkin ia mengira semua orang sudah tidur.
Bahkan dengan santainya, sambil jalan digunakannya kain panjang itu
untuk mengelap bagian bawah tubuhnya yang basah. Terutama di
selangkangannya untuk mengelap memeknya yang baru tersiram air.
“Ee..ee.. kamu belum tidur Win?,” katanya tergagap ketika menyadari
kehadiranku.
“Be.. be.. belum Bu. Saya mau ke kamar mandi dulu,” ujarku sambil
memelototi tubuh telanjangnya itu. Ia jadi tersipu ketika merasa sorot
mata menantunya terarah ke selangkangannya. Ia berusaha dengan
susah-payah melilitkan kain panjangnya untuk menutupi bagian tubuhnya
itu. Lalu bergegas menuju ke kamarnya.
Namun sebelum masuk ke kamar ia sempat berpaling dan melempar senyum
padaku. Senyum yang sangat sulit kuartikan. Jadilah malam itu menjadi
malam yang sangat menyiksa. Sebab kendati sepintas aku sempat melihat
kemulusan pahanya serta memeknya yang berjembut lebat serta pinggul dan
pantatnya yang besar. Akibatnya kejantananku yang sudah hampir setengah
bulan tak mendapatkan penyaluran langsung berdiri mengacung dan tak mau
ditidurkan.
Kalau tidak menimbang bahwa dia adalah ibu dari wanita yang kini
menjadi istriku dan nenek dari anakku, rasanya aku nyaris nekad mengetuk
pintu kamarnya. Sebab dari senyumnya sepertinya ia memberi peluang. Dan
aku sangat yakin di usianya yang telah 52 tahun ia masih memiliki
hasrat untuk disentuh laki-laki. Untuk meredakan ketegangan yang sudah
naik ke ubun-ubun, malam itu aku menyalurkan sendiri hasrat seksualku
dengan beronani. Aku mengocok di kamar mandi sambil membayangkan
nikmatnya meremasi tetek besar ibu mertuaku serta menancapkan kontolku
ke lubang memeknya yang berbulu sangat lebat. Cerita soal ibu mertuaku
yang terlibat perselingkuhan dengan tukang ojek, ternyata bukan isapan
jempol.
Itu kutahu setelah sampai di kampungku. Aku mendapatkan kepastian itu
dari Ridwan, temanku yang menjadi guru di salah satu SD di kampungku.
Aku memang sempat mampir ke rumahnya sebelum ke rumah ibu mertuaku.
“Kalau mungkin setelah acara peringatan almarhum ayah mertuamu,
sebaiknya Bu Amah kamu ajak saja ke Jakarta Win.
Jadi tidak menjadi aib keluarga. Soalnya orang-orang sudah mulai
menggunjingkan,” kata dia saat aku berpamitan. Kuakui saran Ridwan
memang sangat tepat. Tetapi kalau ibu mertuaku menolak, rasanya sulit
juga untuk memaksanya. Untuk berterus terang bahwa sudah banyak warga
kampung yang tahu bahwa ibu mertuaku berselingkuh dengan Barnas dan
warga berniat menggerebeknya, ah rasanya sangat tidak pantas mengingat
kedudukanku sebagai menantu.
Setelah berpikir keras dalam perjalanan ke rumah ibu mertuaku,
kutemukan sebuah solusi. Bahkan ketika aku mulai memikirkan
langkah-langkah yang akan kulakukan, tak terasa batang penisku jadi
menegang. Hingga aku segera bergegas agar segera sampai ke rumah dan
tidak kemalaman. Aku takut ibu mertuaku sudah tidur dan tidak bisa
menjalankan siasatku. Ternyata ibu mertuaku belum tidur dan ia sendiri
yang membukakan saat aku mengetuk pintu. Seperti biasa setelah kucium
tangannya, ibu langsung memelukku.
Namun berbeda dari biasanya, pelukan ibu mertuaku yang biasanya
kusambut biasa-biasa saja tanpa perasaan kali ini sangat kunikmati.
Bahkan kudekap erat hingga tubuhnya benar-benar merapat ke tubuhku.
Seperti biasa ia hanya memakai kutang dan melilitkan kain panjang di
pinggangnya.
Saat kupeluk buah dadanya terasa menekan lembut ke dadaku. Teteknya
yang besar masih lumayan kenyal, begitu aku membathin sambil tetap
memeluknya. Bahkan dengan sengaja aku sempat mengusap-usap punggungnya
dan mukaku sengaja kudekatkan hingga pipiku dan pipinya saling menempel.
Tidak hanya itu, aku yang memang punya rencana tersendiri, sengaja
mencoba memancing reaksinya. Puas merabai kehalusan kulit punggungnya,
tanganku meliar turun. Ke pinggangnya dan terus ke bokongnya yang
terbalut lilitan kain panjang. Tampaknya ibu mertuaku tidak memakai
celana dalam. Karena tidak kurasakan adanya pakaian dalam yang
dikenakan.
Namun yang membuatku makin terangsang, pantat besar ibu mertuaku
ternyata masih cukup liat dan padat. Ah, pantas saja Barnas mau menjadi
pasangan selingkuhnya. Rupanya Barnas punya selera yang bagus juga pada
tubuh perempuan, pikirku kembali membathin. Entah tidak menyadari atau
menikmati yang tengah kulakukan, ibu mertuaku tidak memprotes saat
tanganku mulai meremasi bongkahan pantatnya. Namun setelah beberapa lama
akhirnya ia bereaksi.
“Uu… udah Win nggak enak kalau ketahuan si mbok. Ia belum tidur,
masih bersih-bersih di dapur,” ujarnya. “I.ii.. iya Bu. Maaf saya kangen
banget sama ibu,” “Marni dan Rafi nggak ikut Win?,” kata ibu mertuaku.
Kukatakan padanya kehamilan Marni sudah masuk ke hitungan sembilan
bulan dan Rafi sering rewel kalau berpergian jauh tanpa ibunya jadi
mereka tidak ikut pulang. “Ohh… ya nggak apa-apa. Manto (adik istriku)
juga katanya tidak bisa datang. Dia cuma kirim wesel,” ujarnya lagi.
Oleh ibu aku diantar ke kamar yang biasa kupakai bersama Marni saat
pulang kampung. Namun saat ia menyuruhku mandi, kukatakan bahwa tubuhku
agak meriang. “Oh.. biar si mbok ibu suruh merebus air untuk kamu mandi
biar seger. Sudah kamu tiduran saja dulu. Kalau mau nanti ibu pijitin
dan dibalur dengan minyak dan bawang merah ditambah balsem gosok setelah
mandi biar hilang masuk anginnya,” katanya sambil bergegas keluar dari
kamar. Saat ia melangkah pergi, kupandangi goyangan pantat besarnya yang
tercetak oleh lilitan kain panjang yang dipakainya. Pantat yang masih
padat dan liat. Perutnya memang mulai sedikit membuncit.
Maklum karena usianya sudah tidak muda lagi. Namun dengan posturnya
yang tinggi besar kekurangannya di bagian perut itu dapat tertutupi.
Melihatnya gairahku makin tak tertahan. Usai mandi dan makan malam, aku
pamit pada ibu mertuaku untuk masuk kamar. Tetapi sambil jalan aku
kembali berpura-pura seperti orang yang tengah tidak enak badan.
Maksudku untuk mengingatkan ibu mertuaku perihal tawarannya untuk
memijiti tubuhku. Dan benar saja, melihat aku memegangi kepalaku yang
sebenarnya tidak pusing dia langsung tanggap. “Oh ya mbok, tolong
ambilkan minyak goreng, bawang merah dan balsem untuk memijit Nak Win.
Sesudah itu si mbok tidur saja istirahat karena besok harus siap-siap
masak,” perintah ibu mertuaku pada Mbok Dar, pembantu yang sudah lama
ikut keluarga istriku. Tidak lebih dari lima menit, ibu mertua
menyusulku masuk kamar membawa piring kecil berisi minyak goreng, irisan
bawang merah dan uang logam serta balsem gosok. “Katanya mau dipijit.
Ayo buka kaos dan sarungnya. Kalau dibiarkan bisa tambah parah masuk
anginnya,” ujarnya setelah duduk di tepian ranjang tempat aku tiduran.
Saat itu aku hanya memakai celana dalam tipis di balik sarung yang
kupakai. Maka setelah sarung dan kaos kulepas, seperti halnya ibu
mertuaku yang hanya memakai kutang dan membalut tubuh dengan kain
panjang, tinggal celana dalam tipis yang masih melekat di tubuhku.
Sepintas kulihat mata ibu mertuaku menatapi tonjolan yang tercetak di
celana dalamku. Sejak memeluk dan meremas pantat ibu mertuaku serta
merasakan busungan buah dadanya menempel di dadaku, penisku memang mulai
bangkit.
Kuyakin batang kontolku itulah yang tengah menjadi perhatiannya.
Boleh jadi ia mengagumi batang kontolku yang memang ukurannya tergolong
panjang dan kekar. Atau tengah membandingkan dengan milik Barnas?
Kembali aku membatin. Ia memang tidak menatapi secara langsung ke
selangknganku. Tetapi sambil mencampurkan bawang merah, minyak dan
balsem di piring untuk dibalurkan di tubuhku sebelum dipijat, sesekali
ia mencuri pandang. Aku makin yakin bahwa gairahnya dalam urusan ranjang
memang masih belum padam. Dan karena lirikan mata ibu yang sering
tertuju ke selangkanganku itulah aku menjadi makin berani melaksanakan
siasat yang telah kurencanakan. “Bu sebenarnya saya nggak meriang.
Saya hanya ingin ngoborol berdua dengan ibu karena kangen dan ada
yang ingin disampaikan,” ujarku akhirnya. Ibu mertuaku tampak kaget. Ia
yang tadinya hendak membalurkan campuran balsem, minyak kelapa dan
bawang merah ke dadaku diurungkannya dan menatapku penuh tanda tanya.
Bahkan terlihat makin panik ketika kukatakan bahwa yang ingin
kuketahui adalah soal hubungannya dengan Barnas, pria yang berprofesi
sebagai pengojek termasuk soal kegeraman masyarakat yang ingin menangkap
basah ibu dan selingkuhannya itu. Takut piring kecil berisi ramuan
untuk urut yang dipegangnya tumpah karena kekagetannya, segera kuambil
alih.
Sambil bangkit dari tidur, kuugenggam tangan ibu mertuaku setelah
piringnya kutaruh di meja kecil dekat tempat tidur. “Ibu ceritakan saja
sejujurnya pada saya biar nanti kalau sampai Marni tahu saya bisa
membantu menjelaskan dan memberinya pengertian,” kataku. “Jangan Win,
tolong jangan.
Jangan sampai Mirna tahu soal ini. Dia belum tahu kan?” Ibu mertuaku
menghiba. Ia tampak makin panik. “Belum Bu. Hanya saya yang tahu dari
orang-orang. Makanya ibu ceritakan saja semuanya. Ibu benar-benar serius
hubungannya dengan Barnas?” Setelah kudesak dan kuyakinkan bahwa aku
tidak akan menceritakannya pada Marni, ia akhirnya bercerita.
Menurutnya, ia sampai berhubungan dengan Barnas karena iseng dan
kesepian. Setelah mencobanya sekali, menurut pengakuan ibu mertuaku,
sebenarnya ia tidak berniat mengulangnya lagi. Takut menjadi gunjingan
masyarakat.
Tetapi di setiap kesempatan Barnas sering datang dan mendesak. Bahkan
mengancam akan menceritakan kepada orang-orang bila ibu mertuaku tidak
melayaninya. Hingga sudah tiga kali terpaksa ibu mertuaku melayani
Barnas. “Setelah bapaknya Marni tidak ada ibu sering kesepian Win.
Sampai akhirnya ibu khilaf,” ujarnya. “Kalau dengan Pak Lurah,
hubungannya sejauh mana Bu,” Aku mempertanyakan itu karena selain dengan
Barnas ada pula kabar miring yang kudengar dari teman di kampung, Pak
Lurah juga sering bertandang ke rumah ibu mertuaku. Namun kabar miring
itu ditepisnya tegas-tegas oleh ibu mertuaku.
Ia mengakui beberapa kali Pak Lurah datang ke rumah. Bahkan pernah
mengajaknya untuk menikah siri atau menikah tidak resmi. Tetapi menurut
ibu mertuaku, ia dengan tegas telah menolaknya hingga akhirnya tidak
pernah datang lagi. “Ibu memang cantik dan sexy sih. Saya saja suka
nggak tahan kalau melihat ibu,” kataku mencoba memancing. “Huussh..
ngomong apa kamu Win. Ibu kan sudah tua,” “Eeh bener lho Bu. Ingat nggak
waktu saya memergoki ibu malam-malam keluar dari kamar mandi dan sempat
melihat i.. itunya Ibu?” Kuceritakan pada ibu mertuaku bahwa saat itu
aku benar-benar sangat terangsang. Bahkan nyaris nekad menyusul ibu ke
kamar. Namun karena takut ibu menolak, akhirnya kuurungan.
Hanya di kamar, sampai pagi aku tidak bisa tidur karena hasrat yang
tak terlampiaskan. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Menurutnya, saat
itu ia memiliki perasaan serupa karena gairahnya juga lagi tinggi.
“Kalau saat itu kamu nekad masuk kemar pasti kejadian deh,” ungkapnya.
Pengakuannya itu mendorongku bertindak nekad. Kulingkarkan tanganku ke
pundaknya dan kukecup lembut pipi ibu mertuaku. Ia agak kaget dengan
tindakan nekadku itu namun tidak berusaha menolak. “Kalau begitu
sekarang saja ya Bu. Saya pengin banget,’ kataku berbisik di telinganya.
“Ta.. ta.. tapi Win,” Tetapi ibu mertuaku tidak bisa melanjutkan
kata-katanya karena mulutnya langsung kusumbat dan kulumat dengan
mulutku. Ia sempat gelagapan.
Namun ia yang awalnya hanya diam atas serangan mendadak yang
kulancarkan, akhirnya memberi perlawanan saat lidahku mulai kujulurkan
menyapu di seputar rongga mulutnya. Ia juga ikut melumat dan menghisap
bibirku. Sambil terus melumat bibirnya, aku makin berani untuk bertindak
lebih jauh. Kuremas teteknya yang masih terbungkus BH warna hitam.
Namun karena kurang puas, tanganku merogoh untuk meremas langsung gunung
kembarnya. Payudaranya ternyata sudah agak kendur. Hanya ukurannya
benar-benar mantap. Bahkan lebih besar dibanding susu Marni meski dia
sedang mengandung.
Putingnya juga besar dan menonjol. Aku jadi makin gemas untuk terus
meremas dan memain-mainkan pentil-pentilnya. Ibu mertuaku menggelinjang
dan mendesah. Bahkan tanpa kuminta dilepaskannya pengait pada BH yang
dipakainya hingga penutup buah dadanya terlepas. Aku jadi makin leluasa
untuk terus meremasi teteknya. “Tetek ibu udah kendor ya Win?” kata ibu
mertuaku lirih. “Ah nggak. Tetek ibu besar dan mantep. Saya sangat suka
tetek ibu. Ngegemesin banget,” “Punya Marni juga besar kan?” “Tapi masih
kalah besar di banding punya ibu ini,” kataku sambil meremas gemas dan
membuat ibu mertuaku memekik tertahan.
Mertuaku yang semula pasif menyandar ke tubuhku sambil menikmati
belaian dan remasan tanganku di teteknya, kian terbangkitkan hasratnya.
Tangannya mulai menjalar dan menyentuh kontolku. Mengelus dan meraba
meski masih dari luar celana dalam yang kupakai. Mungkin ia sudah
kebelet ingin menggenggam dan melihat penisku. Aku membantunya dengan
memelorotkan celana dalamku. Benar saja, setelah terlepas ibu mertuaku
langsung meraih batang zakarku. Mengelus kepala penisnya yang membonggol
dan mengocok-ngocoknya perlahan batangnya. Tampaknya dia benar-benar
ahli untuk urusan memanjakan pria.
Bahkan biji-biji pelir kontolku diusap-usapnya perlahan. Sambil
menikmati kocokannya, kulepas lilitan kain panjang yang membungkus tubuh
ibu mertuaku. Tidak terlalu sulit karena ia hanya melilitkan dan
menggulungkannya di atas pusarnya. Sekali tarik langsung terlepas.
Dugaanku tidak keliru. Ia tidak memakai celana dalam di balik kain
panjang yang dipakainya. Wow memeknya terlihat sangat membukit di antara
kedua pangkal pahanya. Aku yang sudah dua bulan puasa karena perut
Marni yang makin membesar akibat kehamilannya menjadi tidak sabar untuk
segera menyentuhnya.
KUbaringkan tubuh ibu mertuaku lalu aku mengambil posisi berbaring
dengan arah berlawanan. Maksudnya agar aku bisa leluasa menjangkau
memeknya dan ibu tetap bisa bermain-main dengan kontolku. Bukan cuma
tetek Marni yang kalah besar dengan milik ibunya. Dari segi ukuran dan
ketebalannya, memek mertuaku juga lebih unggul. Mantap dan menawarkan
kehangatan yang menantang untuk direguk. Aku langsung mengecup dan
mencerucupi inchi demi inchi organ vital milik ibu mertuaku.
Menjilatinya mulai lipatan bagian dalam pahanya hingga ke bagian yang
membukit dan ke celahnya yang hangat dan sudah mulai basah. Ibu tak mau
kalah. Kurasakan biji-biji pelirku dijilati dan dicerucupi serta
dikulumnya.
Tubuhku mengejang menahan kenikmatan yang tengah diberikan ibu
mertuaku. Meski harus setengah dipaksa, Marni memang sering mengulum
penisku sebelum bersetubuh. Namun yang dilakukan ibu mertuaku dengan
mulutnya pada penisku sangat menggetarkan. Kalau terlalu lama
pertahananku bisa jebol dan KO sebelum dapat memberi kepuasan kepada ibu
mertuaku. Aku tidak mau ibu mertuaku menyangsikan kejantananku. Apalagi
di perselingkuhan pertama kami. Untuk mengimbangi permainannya, lidahku
kubenamkan dalam-dalam di lubang memeknya dan mulai mencongkel-congkel
itilnya. Tubuh ibu mertuaku tergetar ketika ujung kelentitnya kukulum
dan kuhisap-hisap dengan mulutku. Kudengar ia mulai mengerang tertahan.
Ia membuka lebar-lebar pahanya dan menghentikan jilatan serta
kulumannya pada kontolku. Rupanya ibu mulai menikmati permainan mulutku
di liang sanggamanya. Itilnya makin menyembul keluar akibat pososi
pahanya yang makin mengangkang. Makin kuintensifkan fokus permainanku
pada kelentitnya. Kukecupi, kuhisap dan kutarik-tarik itilnya dengan
bibirku. “Aakkhhhh…. ssshh aahhhkkkhh enak bangat Win. Kamu apakan itil
ibu Win. Aakkkhh… aakhhhh… aaaaaahhhhh,” Rintihan dan erangan ibu makin
menjadi. Bahkan sesekali terlontar kata-kata jorok dari mulutnya.
Bisa-bisa Mbok Darmi, pembantu ibu mertuaku yang tidur di belakang
mendengar dan menaruh curiga. Maka langsung kutindih tubuh ibu dan
kusumbat mulutnya dengan mulutku. Lalu dengan tanganku, kuarahkan
kontolku ke liang sanggamanya.
Kugesek-gesekkan kepalanya di bibir luar memeknya dan kemudian
kutekan. Akhirnya, … ssleseeep.. bleeessss! Tubuh ibu mertuaku
menggerinjal saat batang penisku menerobos masuk di lubang memeknya. Ia
memekik tertahan dan dicubitnya pantatku. “Ih.. jangan kenceng-kenceng
nusuknya. Kontol kamu kegedean tahu…,” kata ibu mertuaku tapi tidak
dalam nada marah. Seneng juga dipuji ibu bahwa ukuran penisku cukup
gede. “Sama punya Barnas gede mana Bu?” Ibu rupanya kurang suka nama itu
disebut. Ia agak merengut. “Membayangkan ibu disetubuhi Barnas saya
cemburu Bu. Makanya saya pengin tahu,” ujarku berbisik di telinganya.
“Ibu tidak akan mengulang lagi Win. Ibu janji. Punya dia kalah jauh
dibanding kontolmu.
Memek ibu kayak nggak muat dimasuki kontolmu. Ah.. marem banget,”
jawabnya melegakan. Kembali ibu mendesah dan merintih ketika mulai
kukocok lubang nikmatnya dengan penisku. Awalnya terdengar lirih. Namun
semakin lama, saat ayunan dan hunjaman kontolku makin laju, kembali ia
menjadi tak terkendali. Ia bukan hanya merintih tetapi mengerang-erang.
Kata-kata joroknya juga ikut berhamburan. “Ah..sshh…aaahh terus Win..
ya.. ya terus coblos memek ibu.
Ah..aaahhh… sshhh enak banget kontolmu Win. Gede dan mantep banget….
aahhhh ….aaaooooohhhh…..ssshhhh,” Celoteh dan erangannya membuatku makin
bernafsu. Apalagi ketika ibu mulai mengimbangi dengan goyangan
pinggulnya dan membuat batang kontolku serasa diremas-remas di lubang
memeknya.
Ternyata memeknya masih sangat legit meski terasa sudah longgar dan
kendur. Erangan ibu makin keras dan tak terkendali, tapi aku tak peduli.
“Memek ibu juga enak banget. Saya suka ngentot sama ibu. Sshhh….
aaahh.. yaa terus goyang bu… aahh.. ya. ya buu….aahsshhh,” Berkali-kali
hunjaman kontolku kusentakkan di lubang memek ibu mertuaku. Ia jadi
membeliak-beliak dan suara erangannya makin kencang. Goyangan pinggulnya
juga terus berusaha mengimbangi kocokan kontolku di liang sanggamanya.
Benar-benar nikmat dan pandai mengimbangi lawan mainnya.
Bahkan, ini kelebihan lain yang tidak kutemukan pada diri Marni,
memek ibu yang tadinya terasa longgar otot-otot yang ada di dalamnya
kini seakan hidup. Ikut bergerak dan menghisap. Ini mungkin yang
dinamakan memek empot ayam. Aku jadi ikut kesetanan. Sambil terus
menyodok-nyodokkan kontolku di lubang vaginanya, pentil tetek kuhisap
sekuatnya. Ibu mengerang sejadi-jadinya. Saat itulah kedua kakinya
melingkar ke pinggangku, membelit dan menekannya kuat-kuat. Rupanya ia
hendak mendapatkan puncak kenikmatannya. Makanya kusumbat mulut ibu
dengan mulutku.
Lidahnya kukulum dan kuhisap-hisap. Akhirnya, setelah kontolku serasa
diperah cukup kencang, pertanahanku ikut jebol. Air maniku menyemprot
cukup banyak di liang sanggamanya bercampur dengan cairan vaginanya yang
juga membanjir. Tubuhku ambruk dan terkapar di sisi wanita yang selama
ini kuhormati sebagai ibu mertua. Entah berapa lama aku tertidur. Namun
saat bangun, ibu mertuaku sudah tidak ada di ranjang tempat tidurku.
Rupanya ia sedang berada di daput membuatkan teh panas untukku setelah
membersihkan diri di kamar mandi. Seulas senyum memancar di wajahnya
saat kami saling tatap sebelum aku masuk ke kamar mandi untuk
membersihkan diri.
Goyangan Mertua Yang Binal – Berita tentang rencana acara peringatan
tiga tahun meninggalnya almarhum ayah mertuaku yang disampaikan Rosyid
saudara istriku dari kampung, tidak terlalu mengejutkan. Karena aku dan
istriku Marni telah
memperhitungkan sebelumnya hingga sudah menyiapkan anggaran untuk
keperluan kegiatan itu guna membantu ibu mertuaku. Namun yang membuatku
terkejut, sebelum pulang Rosyid menyeretku dan berbisik memberitahu
bahwa di kampung belakangan santer beredar isu bahwa ibu mertuaku ada
main dengan Barnas, tukang ojek warga setempat.
“Saya
kira Barnas hanya mengincar duitnya Bude Amah (nama ibu mertuaku
Salamah). Bude kan sudah tua, masa sih Kang Barnas mau kalau nggak
ngincar uangnya,” kata Rosyid, saat aku mengantar dia keluar rumah dan
tidak ada Marni di dekat kami. Menurut Rosyid, ia menyampaikan itu agar
aku jangan kaget jika mendengarnya. Juga diharapkan dapat mengingatkan
ibu mertuaku.
Karena menurut Rosyid, warga kampung sudah geregetan dan berniat
menggerebeknya kalau sampai ketahuan. “Terima kasih informasinya Sid.
Saya akan mencoba mengingatkan ibu kalau ada saat yang tepat. Saya nanti
pulang sendiri ke kampung karena kehamilan Marni sudah hampir memasuki
bulan ke sembilan,” ujarku sebelum Rosyid pergi dengan sepeda motornya.
Kabar perselingkuhan ibu mertuaku dengan tukang ojek itulah yang
membuatku banyak termenung dalam bus yang membawaku dari Jakarta menuju
ke desa di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Seperti halnya Rosyid, aku
juga tidak habis pikir kenapa ibu mertuaku sampai terlibat selingkuh
dengan Barnas. Sebagai bekas istri Sekdes dan tergolong orang berada di
kampungnya, ibu mertuaku termasuk pandai merawat diri di samping
tergolong lumayan cantik.
Maka meskipun usianya telah 52 tahun, masih nampak sisa-sisa
kecantikannya. Wanita berkulit bersih itu juga bisa dibilang masih
menyimpan pesona untuk membangkitkan hasrat lelaki. Jadi tidak benar
anggapan Rosyid bahwa ibu mertuaku tidak menarik lagi bagi laki-laki.
Bagian pantat dan busungan buah dadanya memang masih menantang.
Aku tahu itu karena ibu mertuaku sering hanya mengenakan kutang dan
menutup tubuhnya dengan balutan kain panjang saat di dalam rumah. Bagian
dari tubuh ibu mertuaku yang sudah kurang menarik hanya pada bagian
perutnya. Seperti kebanyakan wanita seusia dia, perutnya sudah tidak
rata. Juga lipatan yang sudah mulai muncul di bagian leher dan kelopak
matanya. Namun untuk bagian tubuh yang lainnya, sungguh masih mampu
membuat jakunku turun naik. Kakinya yang panjang, betisnya masih
membentuk bulir padi dengan paha yang mulus dan membulat kekar. Dadanya
juga sangat montok. Entah kalau soal masih kenyal dan tidaknya.
Aku sendiri suka ngiler karena tetek istriku tak sebesar punya ibunya
itu di samping kulit istriku tak secerah kulit ibunya. Pernah ketika
ibu berkunjung dan menginap beberapa lama di rumahku, aku nyaris gelap
mata. Saat itu Marni istriku baru melahirkan anak pertamanya. Ibu
sengaja datang dan tinggal cukup lama untuk menggantikan peran Marni
mengurus dapur. Saat tinggal di rumahku, kebiasaan ibu mertuaku di desa
yang hanya mengenakan kutang dan membalut tubuh bagian bawah dengan kain
panjang saat di rumah, tetap dilakukannya.
Alasannya, Jakarta sangat panas hingga ia merasa lebih nyaman
berbusana ala Tarzan seperti itu. Sebenarnya tidak ada masalah, karena
ibu mertuaku hanya berpakaian seperti itu saat ada di dalam rumah. Namun
khusus bagiku saat itu jadi terasa menyiksa. Betapa tidak, sementara
harus berpuasa syahwat karena istri yang tidak bisa melayani selama 40
hari setelah melahirkan sementara setiap saat aku seolah disodori
pemandangan menggiurkan penampilan ibu mertuaku.
Apalgi ibu mertuaku tanpa merasa risi sering berpakaian setengah
telanjang memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya yang masih merangsang di
hadapanku. Bahkan kutang yang dipakainya kerap tampak kekecilan hingga
susunya yang besar tidak bisa muat sepenuhnya terbungkus kutang yang
dipakainya. Aku jadi tersiksa, terpanggang oleh nafsu yang tak
tersalurkan. Aku bahkan pernah gelap mata dan nyaris nekad. Malam itu,
saat hendak buang air kecil ke kamar mandi, aku sempat berpapasan dengan
ibu mertuaku yang juga baru dari kamar mandi.
Namun yang membuat mataku melotot, ia keluar dari kamar mandi nyaris
bugil. Hanya mengenakan BH, sementara kain panjang yang biasa dipakainya
belum dilitkan di tubuhnya. Mungkin ia mengira semua orang sudah tidur.
Bahkan dengan santainya, sambil jalan digunakannya kain panjang itu
untuk mengelap bagian bawah tubuhnya yang basah. Terutama di
selangkangannya untuk mengelap memeknya yang baru tersiram air.
“Ee..ee.. kamu belum tidur Win?,” katanya tergagap ketika menyadari
kehadiranku.
“Be.. be.. belum Bu. Saya mau ke kamar mandi dulu,” ujarku sambil
memelototi tubuh telanjangnya itu. Ia jadi tersipu ketika merasa sorot
mata menantunya terarah ke selangkangannya. Ia berusaha dengan
susah-payah melilitkan kain panjangnya untuk menutupi bagian tubuhnya
itu. Lalu bergegas menuju ke kamarnya.
Namun sebelum masuk ke kamar ia sempat berpaling dan melempar senyum
padaku. Senyum yang sangat sulit kuartikan. Jadilah malam itu menjadi
malam yang sangat menyiksa. Sebab kendati sepintas aku sempat melihat
kemulusan pahanya serta memeknya yang berjembut lebat serta pinggul dan
pantatnya yang besar. Akibatnya kejantananku yang sudah hampir setengah
bulan tak mendapatkan penyaluran langsung berdiri mengacung dan tak mau
ditidurkan.
Kalau tidak menimbang bahwa dia adalah ibu dari wanita yang kini
menjadi istriku dan nenek dari anakku, rasanya aku nyaris nekad mengetuk
pintu kamarnya. Sebab dari senyumnya sepertinya ia memberi peluang. Dan
aku sangat yakin di usianya yang telah 52 tahun ia masih memiliki
hasrat untuk disentuh laki-laki. Untuk meredakan ketegangan yang sudah
naik ke ubun-ubun, malam itu aku menyalurkan sendiri hasrat seksualku
dengan beronani. Aku mengocok di kamar mandi sambil membayangkan
nikmatnya meremasi tetek besar ibu mertuaku serta menancapkan kontolku
ke lubang memeknya yang berbulu sangat lebat. Cerita soal ibu mertuaku
yang terlibat perselingkuhan dengan tukang ojek, ternyata bukan isapan
jempol.
Itu kutahu setelah sampai di kampungku. Aku mendapatkan kepastian itu
dari Ridwan, temanku yang menjadi guru di salah satu SD di kampungku.
Aku memang sempat mampir ke rumahnya sebelum ke rumah ibu mertuaku.
“Kalau mungkin setelah acara peringatan almarhum ayah mertuamu,
sebaiknya Bu Amah kamu ajak saja ke Jakarta Win.
Jadi tidak menjadi aib keluarga. Soalnya orang-orang sudah mulai
menggunjingkan,” kata dia saat aku berpamitan. Kuakui saran Ridwan
memang sangat tepat. Tetapi kalau ibu mertuaku menolak, rasanya sulit
juga untuk memaksanya. Untuk berterus terang bahwa sudah banyak warga
kampung yang tahu bahwa ibu mertuaku berselingkuh dengan Barnas dan
warga berniat menggerebeknya, ah rasanya sangat tidak pantas mengingat
kedudukanku sebagai menantu.
Setelah berpikir keras dalam perjalanan ke rumah ibu mertuaku,
kutemukan sebuah solusi. Bahkan ketika aku mulai memikirkan
langkah-langkah yang akan kulakukan, tak terasa batang penisku jadi
menegang. Hingga aku segera bergegas agar segera sampai ke rumah dan
tidak kemalaman. Aku takut ibu mertuaku sudah tidur dan tidak bisa
menjalankan siasatku. Ternyata ibu mertuaku belum tidur dan ia sendiri
yang membukakan saat aku mengetuk pintu. Seperti biasa setelah kucium
tangannya, ibu langsung memelukku.
Namun berbeda dari biasanya, pelukan ibu mertuaku yang biasanya
kusambut biasa-biasa saja tanpa perasaan kali ini sangat kunikmati.
Bahkan kudekap erat hingga tubuhnya benar-benar merapat ke tubuhku.
Seperti biasa ia hanya memakai kutang dan melilitkan kain panjang di
pinggangnya.
Saat kupeluk buah dadanya terasa menekan lembut ke dadaku. Teteknya
yang besar masih lumayan kenyal, begitu aku membathin sambil tetap
memeluknya. Bahkan dengan sengaja aku sempat mengusap-usap punggungnya
dan mukaku sengaja kudekatkan hingga pipiku dan pipinya saling menempel.
Tidak hanya itu, aku yang memang punya rencana tersendiri, sengaja
mencoba memancing reaksinya. Puas merabai kehalusan kulit punggungnya,
tanganku meliar turun. Ke pinggangnya dan terus ke bokongnya yang
terbalut lilitan kain panjang. Tampaknya ibu mertuaku tidak memakai
celana dalam. Karena tidak kurasakan adanya pakaian dalam yang
dikenakan.
Namun yang membuatku makin terangsang, pantat besar ibu mertuaku
ternyata masih cukup liat dan padat. Ah, pantas saja Barnas mau menjadi
pasangan selingkuhnya. Rupanya Barnas punya selera yang bagus juga pada
tubuh perempuan, pikirku kembali membathin. Entah tidak menyadari atau
menikmati yang tengah kulakukan, ibu mertuaku tidak memprotes saat
tanganku mulai meremasi bongkahan pantatnya. Namun setelah beberapa lama
akhirnya ia bereaksi.
“Uu… udah Win nggak enak kalau ketahuan si mbok. Ia belum tidur,
masih bersih-bersih di dapur,” ujarnya. “I.ii.. iya Bu. Maaf saya kangen
banget sama ibu,” “Marni dan Rafi nggak ikut Win?,” kata ibu mertuaku.
Kukatakan padanya kehamilan Marni sudah masuk ke hitungan sembilan
bulan dan Rafi sering rewel kalau berpergian jauh tanpa ibunya jadi
mereka tidak ikut pulang. “Ohh… ya nggak apa-apa. Manto (adik istriku)
juga katanya tidak bisa datang. Dia cuma kirim wesel,” ujarnya lagi.
Oleh ibu aku diantar ke kamar yang biasa kupakai bersama Marni saat
pulang kampung. Namun saat ia menyuruhku mandi, kukatakan bahwa tubuhku
agak meriang. “Oh.. biar si mbok ibu suruh merebus air untuk kamu mandi
biar seger. Sudah kamu tiduran saja dulu. Kalau mau nanti ibu pijitin
dan dibalur dengan minyak dan bawang merah ditambah balsem gosok setelah
mandi biar hilang masuk anginnya,” katanya sambil bergegas keluar dari
kamar. Saat ia melangkah pergi, kupandangi goyangan pantat besarnya yang
tercetak oleh lilitan kain panjang yang dipakainya. Pantat yang masih
padat dan liat. Perutnya memang mulai sedikit membuncit.
Maklum karena usianya sudah tidak muda lagi. Namun dengan posturnya
yang tinggi besar kekurangannya di bagian perut itu dapat tertutupi.
Melihatnya gairahku makin tak tertahan. Usai mandi dan makan malam, aku
pamit pada ibu mertuaku untuk masuk kamar. Tetapi sambil jalan aku
kembali berpura-pura seperti orang yang tengah tidak enak badan.
Maksudku untuk mengingatkan ibu mertuaku perihal tawarannya untuk
memijiti tubuhku. Dan benar saja, melihat aku memegangi kepalaku yang
sebenarnya tidak pusing dia langsung tanggap. “Oh ya mbok, tolong
ambilkan minyak goreng, bawang merah dan balsem untuk memijit Nak Win.
Sesudah itu si mbok tidur saja istirahat karena besok harus siap-siap
masak,” perintah ibu mertuaku pada Mbok Dar, pembantu yang sudah lama
ikut keluarga istriku. Tidak lebih dari lima menit, ibu mertua
menyusulku masuk kamar membawa piring kecil berisi minyak goreng, irisan
bawang merah dan uang logam serta balsem gosok. “Katanya mau dipijit.
Ayo buka kaos dan sarungnya. Kalau dibiarkan bisa tambah parah masuk
anginnya,” ujarnya setelah duduk di tepian ranjang tempat aku tiduran.
Saat itu aku hanya memakai celana dalam tipis di balik sarung yang
kupakai. Maka setelah sarung dan kaos kulepas, seperti halnya ibu
mertuaku yang hanya memakai kutang dan membalut tubuh dengan kain
panjang, tinggal celana dalam tipis yang masih melekat di tubuhku.
Sepintas kulihat mata ibu mertuaku menatapi tonjolan yang tercetak di
celana dalamku. Sejak memeluk dan meremas pantat ibu mertuaku serta
merasakan busungan buah dadanya menempel di dadaku, penisku memang mulai
bangkit.
Kuyakin batang kontolku itulah yang tengah menjadi perhatiannya.
Boleh jadi ia mengagumi batang kontolku yang memang ukurannya tergolong
panjang dan kekar. Atau tengah membandingkan dengan milik Barnas?
Kembali aku membatin. Ia memang tidak menatapi secara langsung ke
selangknganku. Tetapi sambil mencampurkan bawang merah, minyak dan
balsem di piring untuk dibalurkan di tubuhku sebelum dipijat, sesekali
ia mencuri pandang. Aku makin yakin bahwa gairahnya dalam urusan ranjang
memang masih belum padam. Dan karena lirikan mata ibu yang sering
tertuju ke selangkanganku itulah aku menjadi makin berani melaksanakan
siasat yang telah kurencanakan. “Bu sebenarnya saya nggak meriang.
Saya hanya ingin ngoborol berdua dengan ibu karena kangen dan ada
yang ingin disampaikan,” ujarku akhirnya. Ibu mertuaku tampak kaget. Ia
yang tadinya hendak membalurkan campuran balsem, minyak kelapa dan
bawang merah ke dadaku diurungkannya dan menatapku penuh tanda tanya. Bahkan terlihat makin panik ketika kukatakan bahwa yang ingin kuketahui
adalah soal hubungannya dengan Barnas, pria yang berprofesi sebagai
pengojek termasuk soal kegeraman masyarakat yang ingin menangkap basah
ibu dan selingkuhannya itu. Takut piring kecil berisi ramuan untuk urut
yang dipegangnya tumpah karena kekagetannya, segera kuambil alih.
Sambil bangkit dari tidur, kuugenggam tangan ibu mertuaku setelah
piringnya kutaruh di meja kecil dekat tempat tidur. “Ibu ceritakan saja
sejujurnya pada saya biar nanti kalau sampai Marni tahu saya bisa
membantu menjelaskan dan memberinya pengertian,” kataku. “Jangan Win,
tolong jangan.
Jangan sampai Mirna tahu soal ini. Dia belum tahu kan?” Ibu mertuaku
menghiba. Ia tampak makin panik. “Belum Bu. Hanya saya yang tahu dari
orang-orang. Makanya ibu ceritakan saja semuanya. Ibu benar-benar serius
hubungannya dengan Barnas?” Setelah kudesak dan kuyakinkan bahwa aku
tidak akan menceritakannya pada Marni, ia akhirnya bercerita.
Menurutnya, ia sampai berhubungan dengan Barnas karena iseng dan
kesepian. Setelah mencobanya sekali, menurut pengakuan ibu mertuaku,
sebenarnya ia tidak berniat mengulangnya lagi. Takut menjadi gunjingan
masyarakat.
Tetapi di setiap kesempatan Barnas sering datang dan mendesak. Bahkan
mengancam akan menceritakan kepada orang-orang bila ibu mertuaku tidak
melayaninya. Hingga sudah tiga kali terpaksa ibu mertuaku melayani
Barnas. “Setelah bapaknya Marni tidak ada ibu sering kesepian Win.
Sampai akhirnya ibu khilaf,” ujarnya. “Kalau dengan Pak Lurah,
hubungannya sejauh mana Bu,” Aku mempertanyakan itu karena selain dengan
Barnas ada pula kabar miring yang kudengar dari teman di kampung, Pak
Lurah juga sering bertandang ke rumah ibu mertuaku. Namun kabar miring
itu ditepisnya tegas-tegas oleh ibu mertuaku.
Ia mengakui beberapa kali Pak Lurah datang ke rumah. Bahkan pernah
mengajaknya untuk menikah siri atau menikah tidak resmi. Tetapi menurut
ibu mertuaku, ia dengan tegas telah menolaknya hingga akhirnya tidak
pernah datang lagi. “Ibu memang cantik dan sexy sih. Saya saja suka
nggak tahan kalau melihat ibu,” kataku mencoba memancing. “Huussh..
ngomong apa kamu Win. Ibu kan sudah tua,” “Eeh bener lho Bu. Ingat nggak
waktu saya memergoki ibu malam-malam keluar dari kamar mandi dan sempat
melihat i.. itunya Ibu?” Kuceritakan pada ibu mertuaku bahwa saat itu
aku benar-benar sangat terangsang. Bahkan nyaris nekad menyusul ibu ke
kamar. Namun karena takut ibu menolak, akhirnya kuurungan.
Hanya di kamar, sampai pagi aku tidak bisa tidur karena hasrat yang
tak terlampiaskan. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Menurutnya, saat
itu ia memiliki perasaan serupa karena gairahnya juga lagi tinggi.
“Kalau saat itu kamu nekad masuk kemar pasti kejadian deh,” ungkapnya.
Pengakuannya itu mendorongku bertindak nekad. Kulingkarkan tanganku ke
pundaknya dan kukecup lembut pipi ibu mertuaku. Ia agak kaget dengan
tindakan nekadku itu namun tidak berusaha menolak. “Kalau begitu
sekarang saja ya Bu. Saya pengin banget,’ kataku berbisik di telinganya.
“Ta.. ta.. tapi Win,” Tetapi ibu mertuaku tidak bisa melanjutkan
kata-katanya karena mulutnya langsung kusumbat dan kulumat dengan
mulutku. Ia sempat gelagapan.
Namun ia yang awalnya hanya diam atas serangan mendadak yang
kulancarkan, akhirnya memberi perlawanan saat lidahku mulai kujulurkan
menyapu di seputar rongga mulutnya. Ia juga ikut melumat dan menghisap
bibirku. Sambil terus melumat bibirnya, aku makin berani untuk bertindak
lebih jauh. Kuremas teteknya yang masih terbungkus BH warna hitam.
Namun karena kurang puas, tanganku merogoh untuk meremas langsung gunung
kembarnya. Payudaranya ternyata sudah agak kendur. Hanya ukurannya
benar-benar mantap. Bahkan lebih besar dibanding susu Marni meski dia
sedang mengandung.
Putingnya juga besar dan menonjol. Aku jadi makin gemas untuk terus
meremas dan memain-mainkan pentil-pentilnya. Ibu mertuaku menggelinjang
dan mendesah. Bahkan tanpa kuminta dilepaskannya pengait pada BH yang
dipakainya hingga penutup buah dadanya terlepas. Aku jadi makin leluasa
untuk terus meremasi teteknya. “Tetek ibu udah kendor ya Win?” kata ibu
mertuaku lirih. “Ah nggak. Tetek ibu besar dan mantep. Saya sangat suka
tetek ibu. Ngegemesin banget,” “Punya Marni juga besar kan?” “Tapi masih
kalah besar di banding punya ibu ini,” kataku sambil meremas gemas dan
membuat ibu mertuaku memekik tertahan.
Mertuaku yang semula pasif menyandar ke tubuhku sambil menikmati
belaian dan remasan tanganku di teteknya, kian terbangkitkan hasratnya.
Tangannya mulai menjalar dan menyentuh kontolku. Mengelus dan meraba
meski masih dari luar celana dalam yang kupakai. Mungkin ia sudah
kebelet ingin menggenggam dan melihat penisku. Aku membantunya dengan
memelorotkan celana dalamku. Benar saja, setelah terlepas ibu mertuaku
langsung meraih batang zakarku. Mengelus kepala penisnya yang membonggol
dan mengocok-ngocoknya perlahan batangnya. Tampaknya dia benar-benar
ahli untuk urusan memanjakan pria.
Bahkan biji-biji pelir kontolku diusap-usapnya perlahan. Sambil
menikmati kocokannya, kulepas lilitan kain panjang yang membungkus tubuh
ibu mertuaku. Tidak terlalu sulit karena ia hanya melilitkan dan
menggulungkannya di atas pusarnya. Sekali tarik langsung terlepas.
Dugaanku tidak keliru. Ia tidak memakai celana dalam di balik kain
panjang yang dipakainya. Wow memeknya terlihat sangat membukit di antara
kedua pangkal pahanya. Aku yang sudah dua bulan puasa karena perut
Marni yang makin membesar akibat kehamilannya menjadi tidak sabar untuk
segera menyentuhnya.
KUbaringkan tubuh ibu mertuaku lalu aku mengambil posisi berbaring
dengan arah berlawanan. Maksudnya agar aku bisa leluasa menjangkau
memeknya dan ibu tetap bisa bermain-main dengan kontolku. Bukan cuma
tetek Marni yang kalah besar dengan milik ibunya. Dari segi ukuran dan
ketebalannya, memek mertuaku juga lebih unggul. Mantap dan menawarkan
kehangatan yang menantang untuk direguk. Aku langsung mengecup dan
mencerucupi inchi demi inchi organ vital milik ibu mertuaku.
Menjilatinya mulai lipatan bagian dalam pahanya hingga ke bagian yang
membukit dan ke celahnya yang hangat dan sudah mulai basah. Ibu tak mau
kalah. Kurasakan biji-biji pelirku dijilati dan dicerucupi serta
dikulumnya.
Tubuhku mengejang menahan kenikmatan yang tengah diberikan ibu
mertuaku. Meski harus setengah dipaksa, Marni memang sering mengulum
penisku sebelum bersetubuh. Namun yang dilakukan ibu mertuaku dengan
mulutnya pada penisku sangat menggetarkan. Kalau terlalu lama
pertahananku bisa jebol dan KO sebelum dapat memberi kepuasan kepada ibu
mertuaku. Aku tidak mau ibu mertuaku menyangsikan kejantananku. Apalagi
di perselingkuhan pertama kami. Untuk mengimbangi permainannya, lidahku
kubenamkan dalam-dalam di lubang memeknya dan mulai mencongkel-congkel
itilnya. Tubuh ibu mertuaku tergetar ketika ujung kelentitnya kukulum
dan kuhisap-hisap dengan mulutku. Kudengar ia mulai mengerang tertahan.
Ia membuka lebar-lebar pahanya dan menghentikan jilatan serta
kulumannya pada kontolku. Rupanya ibu mulai menikmati permainan mulutku
di liang sanggamanya. Itilnya makin menyembul keluar akibat pososi
pahanya yang makin mengangkang. Makin kuintensifkan fokus permainanku
pada kelentitnya. Kukecupi, kuhisap dan kutarik-tarik itilnya dengan
bibirku. “Aakkhhhh…. ssshh aahhhkkkhh enak bangat Win. Kamu apakan itil
ibu Win. Aakkkhh… aakhhhh… aaaaaahhhhh,” Rintihan dan erangan ibu makin
menjadi. Bahkan sesekali terlontar kata-kata jorok dari mulutnya.
Bisa-bisa Mbok Darmi, pembantu ibu mertuaku yang tidur di belakang
mendengar dan menaruh curiga. Maka langsung kutindih tubuh ibu dan
kusumbat mulutnya dengan mulutku. Lalu dengan tanganku, kuarahkan
kontolku ke liang sanggamanya.
Kugesek-gesekkan kepalanya di bibir luar memeknya dan kemudian
kutekan. Akhirnya, … ssleseeep.. bleeessss! Tubuh ibu mertuaku
menggerinjal saat batang penisku menerobos masuk di lubang memeknya. Ia
memekik tertahan dan dicubitnya pantatku. “Ih.. jangan kenceng-kenceng
nusuknya. Kontol kamu kegedean tahu…,” kata ibu mertuaku tapi tidak
dalam nada marah. Seneng juga dipuji ibu bahwa ukuran penisku cukup
gede. “Sama punya Barnas gede mana Bu?” Ibu rupanya kurang suka nama itu
disebut. Ia agak merengut. “Membayangkan ibu disetubuhi Barnas saya
cemburu Bu. Makanya saya pengin tahu,” ujarku berbisik di telinganya.
“Ibu tidak akan mengulang lagi Win. Ibu janji. Punya dia kalah jauh
dibanding kontolmu.
Memek ibu kayak nggak muat dimasuki kontolmu. Ah.. marem banget,”
jawabnya melegakan. Kembali ibu mendesah dan merintih ketika mulai
kukocok lubang nikmatnya dengan penisku. Awalnya terdengar lirih. Namun
semakin lama, saat ayunan dan hunjaman kontolku makin laju, kembali ia
menjadi tak terkendali. Ia bukan hanya merintih tetapi mengerang-erang.
Kata-kata joroknya juga ikut berhamburan. “Ah..sshh…aaahh terus Win..
ya.. ya terus coblos memek ibu.
Ah..aaahhh… sshhh enak banget kontolmu Win. Gede dan mantep banget….
aahhhh ….aaaooooohhhh…..ssshhhh,” Celoteh dan erangannya membuatku makin
bernafsu. Apalagi ketika ibu mulai mengimbangi dengan goyangan
pinggulnya dan membuat batang kontolku serasa diremas-remas di lubang
memeknya.
Ternyata memeknya masih sangat legit meski terasa sudah longgar dan
kendur. Erangan ibu makin keras dan tak terkendali, tapi aku tak peduli.
“Memek ibu juga enak banget. Saya suka ngentot sama ibu. Sshhh….
aaahh.. yaa terus goyang bu… aahh.. ya. ya buu….aahsshhh,” Berkali-kali
hunjaman kontolku kusentakkan di lubang memek ibu mertuaku. Ia jadi
membeliak-beliak dan suara erangannya makin kencang. Goyangan pinggulnya
juga terus berusaha mengimbangi kocokan kontolku di liang sanggamanya.
Benar-benar nikmat dan pandai mengimbangi lawan mainnya.
Bahkan, ini kelebihan lain yang tidak kutemukan pada diri Marni,
memek ibu yang tadinya terasa longgar otot-otot yang ada di dalamnya
kini seakan hidup. Ikut bergerak dan menghisap. Ini mungkin yang
dinamakan memek empot ayam. Aku jadi ikut kesetanan. Sambil terus
menyodok-nyodokkan kontolku di lubang vaginanya, pentil tetek kuhisap
sekuatnya. Ibu mengerang sejadi-jadinya. Saat itulah kedua kakinya
melingkar ke pinggangku, membelit dan menekannya kuat-kuat. Rupanya ia
hendak mendapatkan puncak kenikmatannya. Makanya kusumbat mulut ibu
dengan mulutku.
Lidahnya kukulum dan kuhisap-hisap. Akhirnya, setelah kontolku serasa
diperah cukup kencang, pertanahanku ikut jebol. Air maniku menyemprot
cukup banyak di liang sanggamanya bercampur dengan cairan vaginanya yang
juga membanjir. Tubuhku ambruk dan terkapar di sisi wanita yang selama
ini kuhormati sebagai ibu mertua. Entah berapa lama aku tertidur. Namun
saat bangun, ibu mertuaku sudah tidak ada di ranjang tempat tidurku.
Rupanya ia sedang berada di daput membuatkan teh panas untukku setelah
membersihkan diri di kamar mandi. Seulas senyum memancar di wajahnya
saat kami saling tatap sebelum aku masuk ke kamar mandi untuk
membersihkan diri.
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Di Bawah ini :
Posted By : 233bet.com
No comments:
Post a Comment