Agen Casino Slot - Cerita Dewasa Di Perkosa Menantu - Berdiri di depan pintu rumahku, menantu permpuanku, Mirna, mendekatkan
kepalanya ke arahku dan berbisik, “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Dia memberiku sebuah kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu berjalan
menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Yoyok
menempatkan bayinya pada dudukan bayi itu, dan seperti biasanya, dia
terlalu jauh untuk mendengar apa yang dibisikkan istrinya tercintanya
terhadap Ayah kandungnya.
Agen Casino Slot - Mirna melenggang
di jalan kecil depan rumah dengan riangnya bagai seorang gadis remaja
yang menggoda. Yoyok tak mengetahui ini juga, ini semua dilakukan
istrinya hanya untukku…
Mungkin kalian mengira aku terlalu
mengada-ada soal ini, tapi kenyataannya apa yang Mirna lakukan ini tidak
hanya sekali ini saja. Dan sejak aku tak terlalu terkejut lagi, aku
merasa ada sesuatu yang hilang jika dia tidak melakukannya saat
berkunjung ke rumahku. Aku merasa ada getaran pada penisku, dan sebagai
seorang lalaki biasa yang masih normal, pikiran ‘andaikan…A?a,?a"? yang
wajar menurutku selalu hadir di benakku.
Mirna adalah seorang
wanita yang bertubuh mungil, tapi meskipun begitu ukuran tubuhnya
tersebut tak mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya terlihat
tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut hitam pekat yang
dipotong sebahu, dia sering mengikatnya dengan bandana.
Dia
memiliki energi dan keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang
lain. Sebuah keindahan nan elok kalau ingin mendiskripsikannya. Dia
selalu sibuk, selalu terlihat seakan dikejar waktu tapi tetap selalu
terlihat manis. Dia masuk dalam kehidupan keluarga kami sejak dua tahun
lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga kami
sekian lamanya.
Yoyok
bertemu dengannya saat masih kuliah di tahun pertama. Mirna baru saja
lulus SMU, mendaftar di kampus yang sama dan ikut kegiatan orientasi
mahasiswa baru. Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai pengawas dalam
kelompoknya Mirna. Seperti yang sering mereka bilang, cinta pada
pandangan pertama.
Mereka menikah di usia yang terbilang muda,
Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun. Setahun kemudian bayi pertama mereka
lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian terasa sangat menyelimuti keluarga
kami. Suasana saat itu semakin membuat kami dekat. Mirna mempunyai
selera humor yang sangat bagus, selalu tersenyum riang, dan juga
menyukai bola. Dia sering terlihat bercanda dengan Yoyok, mereka
benar-benar pasangan serasi. Dia selalu memberi semangat pada Yoyok yang
memang memerlukan hal itu.
Yoyok
dan Mirna sering berkunjung kemari, membawa serta bayi meraka. Mereka
telah mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu besar.
Aku
pikir mereka merasa kalau aku membutuhkan seorang teman, karena aku
seorang lelaki tua yang akan merasa kesepian jika mereka tak sering
berkunjung. Disamping itu, aku memang sendirian di rumah tuaku yang
besar, dan aku yakin mereka suka bila berada disini, dibandingkan rumah
kontrakannya yang sempit.
Ibunya Yoyok telah meninggal karena
kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami. Sebenarnya, tanpa
mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang kesepian. Aku masih
sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu meratapi itu, aku
pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan serta
kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sekedar
patah hati, dan terlalu sibuk untuk mencari wanita untuk mengisi sisa
hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok wanita.
Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan
keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan,
Yoyok melanjutkan pendidikannya untuk gelar MBA, dan Mirna bekerja
sebagai Teller di sebuah Bank swasta.
Kunjungan
mereka padaku tak berubah sedikitpun, cuma bedanya sekarang mereka
sering membawa beberapa bingkisan juga. Tentu saja, diasamping itu juga
perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan bayi.
Beberapa
bulan lalu Mirna dan bayi mereka datang saat Yoyok masih di kelasnya.
Dia duduk disana menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berusaha
untuk menidurkan bayinya. Aku tak tahu caranya, tapi pemandangan itu
entah bagaimana telah menggelitik kehidupan seksualku.
“Ngomong-omong… kapan Ayah akan segera menikah lagi?” dia bertanya dengan getaran pada suaranya.
“Aku
tak tahu. Aku kelihatannya belum terlalu membutuhkan kehadiran seorang
wanita dalam hidupku. Lagipula, aku telah memiliki kalian yang
menemaniku.”
“Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang bicara soal seks.” matanya mengedip kearahku saat dia bicara.
“Apa?”
“Ayah
tahu, seks.” dia hampir saja tertawa sekarang. “Ketika seorang lelaki
dan wanita sudah telanjang dan memainkan bagiannya masin-masing?”
“Ya, aku tahu seks,” aku membela diri. “Lagipula kamu pikir darimana suamimu berasal?”
“Yah, aku hanya khawatir kalau Ayah sudah melupakannya. Maksudku, apa Ayah tak merindukan hal itu?”
“Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk hal seperti itu.”
“Hei! Lelaki tak pernah bosan dengan hal itu. Setidaknya begitulah dengan putramu.”
“Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia mempunyai seorang istri yang cantik.”
“Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap Ayah membutuhkannya,” dia menekankan suaranya pada kata ‘Ayah’.
“Terima
kasih sudah ngobrol,” kataku, masih terdengar sengit. Ada sedikit jeda
pada perbincangan itu, saat dia masih menekan kehidupan seksualku. Aku
pikir bukanlah urusannya untuk mencampuri hal itu meskipun kadang aku
membayangkannya juga.
Dia
pandang bayinya, yang akhirnya tertidur, dan memberinya sebuah senyuman
rahasia, sepertinya mereka berdua akan berbagi sebuah rahasia besar.
Masih memandangnya, tapi dia berbicara padaku, “Kalau Ayah mau… aku
nggak menolak.”
“Apa!!!?”
“Aku serius.” Mirna menatapku.
“Kalau Ayah menginginkan aku… Ayah adalah seorang lelaki yang tampan.
Ayah membutuhkan seks. Disamping itu, aku bersedia, kan?”
Aku
pikir dia sedang bercanda. Tapi wanita yang menggoda ini tidak sedang
main-main. Tapi tetap saja tak mungkin aku melakukannya dengan istri
dari anak kandungku sendiri. “Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir
aku akan menolak tawaranmu.” suaraku terdengar penuh dengan keraguan
saat mengucapkannya.
Mirna mencibirkan bibir bawahnya, aku tak
bisa menduga apa yang sedang dirasakannya. Dia tetap terlihat menawan,
dan aku merasa Yoyok sangat beruntung.
Dia bicara dengan pelan.
“Dengar, Yoyok tak akan tahu. Maksudku, aku tak akan mengatakannya kalau
Ayah juga menjaga rahasia. Dan bukan berarti aku menawarkan diriku pada
setiap lelaki yang kutemui. Aku bukan wanita seperti itu dan aku bisa
mengatur agar sering berkunjung kemari. Dan aku tahu Ayah menganggapku
cukup menarik kan, sebab aku sering melihat Ayah memandangi pantatku.”
Aku
tak mungkin menyangkalnya. Mirna mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia
memiliki bongkahan pantat yang indah diatas kedua kakinya. “Ya, kamu
memang memiliki pantat yang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku
ingin berselingkuh dengan menantuku sendiri.”
Dia berhenti
sejenak, tapi Mirna kelihatannya tak akan menyerah begitu saja. “Yah,
tapi jangan lupa. “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Dan itulah awal dari semua ini.
Seiring
minggu yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu
berusaha untuk menggodaku, membuat puting sususnya menyentuh dadaku saat
dia menyerahkan bayinya padaku untuk ku gendong. Atau dia masukkan
jarinya di mulutnya saat Yoyok tak melihat, dan menghisapnya dengan
pandangan penuh kenikmatan ke arahku.
Suatu waktu dia duduk di
lantai dengan kaki menyilang dan sedang bermain dengan bayinya, dia
memandangku tepat di mata, tersenyum, dan menyentuh pangkal paha di
balik celana jeansnya. Aku tak akan melupakan hal itu. Dan dia entah
bagaimana selalu menemukan cara untuk berduaan denganku walaupun sesaat,
dan dia memberiku ciuman singkat yang penuh gairah, tepat di bibir. Itu
semua dilakukannya berulang-ulang.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik di belakang Yoyok saat suaminya itu sedang memasukkan DVD pada player.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik saat mendekat untuk menyodorkan minuman padaku.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia membisikkannya setiap kali dia berpamitan.
Dan
sekarang, aku bukanlah terbuat dari batu, dan aku tak akan bilang
tingkah lakunya itu tidak memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat
manis dan mungil, dan meskipun setelah melahirkan bayi pertamanya tak
membuat tubuhnya berubah seperti kebanyakan wanita. Dia tetap langsing,
dan manis, dan dia menawarkan dirinya untuk kumiliki. Tapi aku tak akan
memulai langkah pertama untuk tidur dengan menantuku sendiri, tak
perduli semudah apapun itu.
Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada diriku sendiri.
Beberapa
minggu yang lalu kami semua berkumpul di rumahku untuk melihat
pertandingan bola. Aku mengambil beberapa kaleng minuman dan sedang
berada di dapur untuk menyiapkan beberapa makanan ringan saat Mirna
muncul dari balik pintu itu.
“Hai!” sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur. “Ayah sudah siap untuk pertandingan nanti?”
“Hampir.
Aku sedang membuat makanan untuk keluarga kecil kita, dan aku punya
beberapa wortel untuk cucuku. Aku pikir dia akan suka dan warnanya sama
dengan kesebelasan yang akan bertanding nanti, kan?
Mirna tertawa
dan berkata. “Aku rasa dia tak akan perduli. Disamping itu bukankah ada
hal lain yang lebih baik yang bisa Ayah kerjakan untukku?”
“Jangan
menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan lakukan apa yang menurutku
akan disukai oleh cucuku.” aku memandangnya. Mirna berdiri di sana
memakai bandana merah kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu. Dia
memakai kaos yang sedikit ketat yang bahkan tak sampai ke pinggangnya,
dan pusarnya mengedip padaku dibalik kaosnya. Kancing jeansnya
membuatnya kelihatan seperti anak-anak diera bunga tahun 60an, dan dia
memakai sandal dengan bagian bawah yang tebal yang menjadikannya lebih
tinggi sepuluh centi.
Kuku kakinya dicat merah senada dengan
lipstiknya, dan itu menjadi terlihat dengan sangat menarik dibalik
denimnya. Dia selalu suka mengenakan perhiasan, dan dia memakainya pada
leher, telinga, pergelangan tangan dan bahkan di jari kakinya. Dia
membuatku berandai-andai jika saja aku masih remaja, jadi aku dapat
memacari gadis sepertinya. Mungkin suatu waktu nanti aku harus pergi ke
kampus dan mencari gadis-gadis. Khayalanku terhenti saat menyadari kalau
Yoyok dan bayinya tidak mengikutinya masuk.
“Mana anggota keluargamu yang lainnya?” aku bertanya ingin tahu.
“Mereka
akan segera datang. Yoyok pergi ke toko perkakas untuk membeli
peralatan mesin cuci yang rusak. Dia ingin membawa serta anaknya.
‘Perjalanan ke toko perkakas yang pertama bersama Ayah’ kurasa yang
dikatakannya padaku.” dia tersenyum.
“Apa Ayah mempermasalahkan saat pertama kalinya mengajak Yoyok ke toko perkakas?”
“Aku tak ingat,” aku berkata dengan garing.
Mirna mendekat padaku, dan menaruh tangannya melingkari leherku. “Ini kesempatan Ayah. Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Mirna
memandangku tepat di mata dan mengangkat tubuhnya dan menciumku lama
dan liar. Aku ingin mendorongnya, tapi aku tak tahu dimana aku harus
menaruh tanganku. Aku tak mau menyentuh pinggang telanjang itu, dan jika
aku menaruh tanganku di dadanya aku pasti akan menyentuh puting
susunya. Saat aku masih terkejut dan bingung, aku temukan diriku
menikmati ciumannya. Ini sudah terlalu lama, dan aku merasa telah lupa
akan rasa lapar yang mulai tumbuh dalam diriku.
Akhirnya aku
menghentikan ciuman itu dan mundur dan melepaskan tangannya dari
leherku. “Kita tak bisa melakukannya.” aku mencoba menyampaikannya
dengan lembut, tapi aku takut itu kedengaran seperti rajukan.
“Ya
kita bisa.” Mirna kembali menaruh lengannya di leherku dan mendorong
bibirku ke arahnya. Ada gairah yang lebih lagi dalam ciuman kali ini,
dan akhirnya penerimaanku. Kali ini saat kami berhenti, ada sedikit
kekurangan udara diantara kami berdua, dan aku semakin merasa sedikit
bimbang.
Mirna memandangku dengan binar di matanya dan sebuah
senyuman di bibirnya. “Ayah menginginkanku. Aku bisa merasakannya. Ayah
tak mendapatkan wanita setahun belakangan ini, dan Ayah tak mempunyai
tempat untuk melampiaskannya. Dan aku menginginkan Ayah. Jadi tunggu apa
lagi…”
Pada sisi ini aku tak mampu berkomentar. Aku
menginginkannya. Tapi aku tak dapat meniduri menantuku, bisakah aku?
Tapi aku menginginkan dia. Aku merasa pertahananku melemah, dan saat
Mirna menciumku lagi, aku jadi sedikit terkejut saat menyadari diriku
membalas ciumannya dengan rakus.
“Mmmmm. Itu lebih baik,” katanya
saat kami berhenti untuk mengambil nafas. Mirna menarik tangannya dari
leherku dan mulai melepaskan kancing celanaku saat menciumku kembali
lalu dia mundur. Jadi dia bisa melihat saat dia melepaskan kancing
jeansku, menurunkan resletingnya, dan merogoh ke dalam untuk
mengeluarkan barangku. Aku terkejut saat terlihat jadi tampak lebih
besar di genggaman tangannya yang kecil. Setahun sudah tak disentuh oleh
wanita , dan bereaksi dengan cepat, menjadi keras dan cairan pre-cumnya
keluar saat dia mengocoknya dengan lembut.
Mirna mundur dan
duduk. Saat kepalanya turun, dia menempatkan bibirnya di pangkal penisku
yang basah. “Aku rasa aku menyukai bentuknya,” bisiknya sambil menatap
mataku. Lalu kemudian dia membuka mulutnya dan dengan perlahan
memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ke dalam dan lebih dalam lagi
penisku masuk dalam mulutnya yang lembut, hangat dan basah, dan aku
merasa berada di dalam vagina yang basah dan kenyal saat lidahnya menari
di penisku. Akhirnya aku merasa telah berada sedalam yang ku mampu,
bibirnya menyentuh rambut kemaluanku dan kepala penisku berada entah di
mana jauh di tenggorokannya. Penisku tanpa terasa mengejang, dan
pinggangku bergerak berlawanan arah dengannya, dan bersiap untuk
menyetubuhi wajahnya.
Tapi Mirna perlahan menjauhkan mulutnya
dariku, menimbulkan suara seperti sedang mengemut permen. Saat dia
bangkit untuk menciumku lagi, aku mengarahkan tanganku diantara pahanya.
Aku gosok jeansnya dan dia menggeliat karenanya. “Mmmm, itu pasti
nikmat,” katanya. “Tapi biar aku membuatnya jadi lebih mudah.”
Mirna
melepaskan kancing celananya dan menurunkan resletingnya,
memperlihatkan celana dalam katunnya yang bergambar beruang kecil.
Diturunkannya celananya dan melepaskannya dari tubuhnya. Kami melihat ke
bawah pada area gelap dibawah sana dimana kewanitaannya bersembunyi,
dan kemudian aku sentuh perutnya yang kencang dan terus menurunkan
celana dalamnya.
Mirna mengerang dalam kenikmatan saat tanganku
mencapai sasarannya dibalik celana dalamnya. Vaginanya serasa selembut
pantat bayi, dan aku sadar kalau dia pasti telah mencukurnya sebelum
kemari. Terasa basah dan licin oleh cairan kewanitaannya dan membuatku
kagum karena itu tak menimbulkan bekas basah di luar jeansnya. Saat
tanganku menyelinap dibalik bibir vaginanya dan menyentuh klitorisnya
yang mengeras, dia memejamkan matanya dan menekan berlawanan arah dengan
jariku.
Mirna menaruh salah satu tangannya di leherku dan
mendorong kami untuk sebuah ciuman intensif berikutnya sedangkan
tangannya yang lain mengocok penisku dan tanganku terus bergerak dalam
lubang basahnya. Saat kami berhenti untuk bernafas, Mirna mundur dan
mengatakan sesuatu yang mengejutkan, “Yoyok datang.”
Aku segera
melepasnya dan menuju jendela. Ya, mobil Yoyok terlihat di jalan sedang
menuju kemari. Mirna pasti melihatnya dari balik bahuku saat kami saling
mencumbui leher. Tiba-tiba perasaan bersalah datang menerkam karena
hampir saja ketahuan. Aku tak percaya apa yang hampir saja kami lakukan.
Dengan tergesa-gesa aku kenakan kemabali celanaku, tapi Mirna
menghentikanku dan menangkap tanganku dan melanjutkan kocokannya.
“Hei, tidak boleh. Tak semudah itu Ayah boleh mengakhirinya. Aku telah menunggu terlalu lama untuk ini.”
“Tapi Yoyok hampir datang! Dia akan melihat kita!”
Mirna
mengeluarkan penisku dan berjalan ke arah meja dapur. “Ini
perjanjiannya,” katanya. “Aku tak akan mengadu pada Yoyok tentang apa
yang baru saja kita lakukan kalau Ayah dapat dapat mengeluarkan seluruh
sperma Ayah dalam vaginaku sebelum dia sampai kemari.” Sambil berkata
begitu, dia menurunkan celananya hingga lutut dan membungkuk di meja
itu.
“Dia segera datang!” hampir saja aku teriak.
“Tidak.”
Mirna membentangkan kakinya sejauh celananya memungkinkan untuk itu dan
dia memandangku lewat bahunya. “Dia harus menggendong bayi dan
mengeluarkan semua barangnya. Biasanya dia memerlukan beberapa menit.
Sekarang kemarilah dan setubuhi aku.”
Mirna telah telanjang dari
pinggang hingga kaki, dan dia memohon padaku agar segera memasukkan
diriku dalam tubuhnya. Aku menatap dua lubang yang mengundang itu.
Pantatnya begitu kencang dan aku tak terusik saat melihat lubang anusnya
yang berkerut kemerahan, dan di bawahnya, bibir vaginanya yang merah,
terlihat mengkilap basah. Kakinya tak sejenjang model, tapi lebih kecil
dan terasa pas, dan aku membayangkan bercinta dengannya beberapa jam.
Tangannya
bergerak kebelakang diantara pahanya dan menempatkan tangannya pada
vaginanya. Dengan dua jarinya dilebarkannya bibir vaginanya hingga
terbuka, dan aku dapat melihat lubang merah mudanya mengundang penisku
agar segera masuk. “Ayo,” katanya. “Ambil aku.”
Aku tak tahu apa
dia sedang bercanda saat mengatakannya. Yoyok atau bukan, rangsangan ini
lebih dari cukup untuk mereguk birahinya. Aku melangkah ke belakang
menantuku dan menempatkan penisku di kewanitaannya. Saat aku mendorong
penisku melewati lubang surganya yang sempit, aku dapat merasakan jari
Mirna menahan bibir madunya agar tetap terbuka, dan dia melenguh saat
aku memegang pinggangnya dan memasukkan diriku padanya.
Mirna
telah sangat basah hingga aku dengan mudah melewati vagina mudanya yang
sempit. Aku mulai mengayunkan barangku di dalamnya, sebagian didorong
oleh nafsu akan tubuh menggairahkannya dan sebagian oleh rasa takut jika
Yoyok memergoki kami. Mirna mengerang, dan aku dapat merasakan jarinya
menggosok kelentit dan bibir vaginanya sendiri. Nafasnya mulai
tersengal, dan setelah beberapa goyangan dariku, dia segera orgasme.
Suara rengekan pelan keluar dari bibirnya saat dia mencengkeram
pinggiran meja dengan kuat, dan letupan orgasmenya menggoncang kami
berdua saat aku menghentaknya.
Itu cukup untuk menghantarku. Aku
tak berhubungan dengan wanita dalam setahun ini, dan aku belum pernah
mendapatkan yang sepanas Mirna. Aku menahan nafas dan mendorong seluruh
kelaki-lakianku ke dalam dirinya. Kami mematung, dan kemudian spermaku
menyemprot dengan hebat jauh di dalam surganya. Serasa aku telah
mengguyurnya dengan sperma yang panas dan berlebih. Dia mengerang dalam
nikmat, menggetarkan pantatnya di seputar penisku saat aku mengosongkan
persediaan benihku. Dia melemah seiring dengan habisnya spermaku, dan
kami akhirnya berhenti bergerak, kecuali untuk mengambil nafas.
Takut
Yoyok akan datang sebelum kami sempat melepaskan diri, aku keluarkan
diriku dari tubuhnya dengan bunyi plop yang basah, lalu mundur menjauh
dan mengenakan celanaku. Mirna masih tetap berbaring tertelungkup di
atas meja merasakan kehangatan campuran cairan birahi kami, pantat
telanjangnya masih tetap memanggilku. Aku lihat spermaku dan cairannya
mulai meleleh keluar dari bibir surganya. Aku palingkan muka dan melihat
Yoyok hampir sampai di pintu belakang, bayi di tangan yang satu dan
belanjaan di tangan lainnya.
Aku berbalik dan memohon pada Mirna. ” Ayolah!” kataku. “Kamu telah dapatkan keinginanmu. Dia hampir sampai kemari.”
Mirna
bangkit, tatapan matanya masih kelihatan linglung. Dia bergerak ke
depanku, menjadikanku sebagai penghalang dari pandangan suaminya saat
dia dengan tergesa-gesa memakai celananya.
“Apa kalian sudah siap untuk pertandingannya?” tanya Yoyok sambil membuka pintu.
“Ya,”
aku menjawab dari balik punggungku saat aku diam untuk menghalangi
Mirna yang menaikkan resletingnya. Setelah dia selesai, aku segera
berbalik untuk menyambut Yoyok.
“Ini,” katanya, menyodorkan bayinya padaku dan meletakkan belanjaannya diatas meja dapur.
“Urus
ini, aku akan mengambil popok bayi.” Yoyok melangkah ke pintu yang
masih terbuka, dan aku menghampiri Mirna. Dia masih terlihat sedikit
linglung.
“Hampir saja,” kataku.
“Sini, biar aku yang menggendongnya.”
Aku
berikan bayinya. Mirna memberiku pemandangan seraut wajah dari seorang
wanita yang puas sehabis bersetubuh, dan memberiku ciuman hangat yang
basah.
“Masih ada satu hal lagi yang harus kuketahui,”katanya.
“Apa itu?”
A?a,?A"Kalau aku ingin, bisakah aku mendapatkannya besok?”
Dan dia melenggang begitu saja tanpa menunggu jawabanku yang hanya melongo bengong. Dia yakin kalau akan bersedia…
No comments:
Post a Comment